Kasus bullying kian merebak akhir –akhir ini, kasus tersebut juga sering terjadi di lingkungan sekolah dan umumnya menimpa anak-anak dan remaja yang secara fisik lebih lemah dari teman-teman sebayanya. Tindakan bully tidak hanya terjadi ketika pelaku melakukan kekerasan secara fisik kepada korban, seperti memukul, menampar, atau menendang. Bully juga bisa dilakukan tanpa melakukan kekerasan fisik, seperti mengejek, memanggil seseorang dengan sebutan yang hina, atau bisa juga menyebarkan gosip tentang korban atau mempermalukannya di depan banyak orang.
Di era teknologi seperti sekarang ini, tindakan bully semakin mudah terjadi. Pelaku cukup memakai media sosial untuk menjatuhkan korbannya, seperti menyebarkan teks, foto, atau video berbau negatif tentang korban. Jika kasus bullying ini dibiarkan, maka akan timbul masalah psikologis bagi anak-anak. Masalah tersebut bisa berupa gangguan mental, seperti depresi, rendah diri, mudah cemas, ingin menyakiti diri sendiri, atau bahkan keinginan untuk bunuh diri. Selain itu juga akan berdampak pada prestasi akademik yang menurun, efek ini bisa terjadi karena korban takut pergi ke sekolah atau tidak nyaman belajar di dalam kelas sehingga berdampak pada kegiatan belajar.
Tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya mengalami bullying di sekolah. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan, seyogyanya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak untuk mendapatkan pembinaan pengetahuan dan mental terbaik selain di rumah.
Fakta yang cukup menggelisahkan bagi orangtua, adalah kenyataan bahwa tidak ada satu sekolah pun yang bisa betul-betul menjamin bebas dari tindak bullying di sekolah. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan dari total 445 kasus bidang pendidikan sepanjang tahun ini, 51,20 persen atau 228 kasus terdiri dari kekerasan fisik dan kekerasan seksual yang kerap dilakukan oleh pendidik, kepala sekolah dan juga peserta didik. Kasus cyberbully di kalangan siswa juga meningkat.
Stop Bullying dengan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter kini menjadi salah satu wacana utama dalam kebijakan nasional di bidang karakter Pendidikan. Seluruh kegiatan belajar serta mengajar yang ada dalam Negara Indonesia harus merujuk pada pelaksanaan pendidikan Karakter. Ini juga termuat di dalam Naskah Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan pada tahun 2010. Dalam naskah tersebut dinyatakan yakni pendidikan karakter menjadi unsur utama dalam pencapaian visi dan misi pembangunan Nasional yang termasuk pada RPJP 2005-2025.
Ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum dikenal ialah: Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Religius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000).
Sepanjang sejarahnya, di seluruh dunia ini, pendidikan pada hakekatnya memiliki dua tujuan, yaitu membantu manusia untuk menjadi cerdas dan pintar (smart), dan membantu mereka menjadi manusia yang baik (good). Menjadikan manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah melakukannya, tetapi menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya jauh lebih sulit atau bahkan sangat sulit. Dengan demikian, sangat wajar apabila dikatakan bahwa problem moral merupakan persoalan akut atau penyakit kronis yang mengiringi kehidupan manusia kapan dan di mana pun.
Kenyataan tentang akutnya problem moral inilah yang kemudian menempatkan pentingnya penyelengaraan pendidikan karakter. Rujukan kita sebagai orang yang beragama (Islam misalnya) terkait dengan problem moral dan pentingnya pendidikan karakter dapat dilihat dari kasus moral yang sering terjadi di Indonesis dewasa ini.
Jika pendidikan karakter diselenggarakan di sekolah maka konselor sekolah (Guru BK) akan menjadi pioner dan sekaligus koordinator program tersebut. Hal itu karena Guru BK yang memang secara khusus memiliki tugas untuk membantu siswa mengembangkan kepedulian sosial dan masalah-masalah kesehatan mental, dengan demikian Guru BK harus sangat akrab dengan program pendidikan karakter.
Guru BK harus mampu melibatkan semua pemangku kepentingan (siswa, guru bidang studi, orang tua, kepala sekolah) di dalam mensukseskan pelaksanaan programnya. Mulai dari program pelayanan dasar yang berupa rancangan kurikulum bimbingan yang berisi materi tentang pendidikan karakter, seperti kerja sama, keberagaman, kejujuran, menangani kecemasan, membantu orang lain, persahabatan, cara belajar, menejemen konflik, pencegahan penggunaan narkotika, dan sebagainya. Program perencanaan individual berupa kemampuan untuk membuat pilihan, pembuatan keputusan, dan seterusnya. Program pelayanan responsif yang antara lain berupa kegiatan konseling individu, konseling kelompok.
Setidaknya ada 8 poin penting manfaat pendidikan karakter untuk mencegah bullying di Sekolah, diantaranya: Pembentukan karakter dari diri individu, membuat individu menjadi lebih menghargai sesama, melatih mental dan juga moral dari peserta didik, mengetahui dan memahami karakter diri masing-masing, menyalurkan hal-hal yang penting sesuai dengan karakter yang dimilikinya, menjadi lebih bijak dalam mengambil keputusan, mampu bekerja sama dengan baik dan meningkatkan kualitas problem solving individu.
Penulis
Sirajul Munir (Guru SMA Tahfidz Darul Ulum)